Langit sore ini terlihat lebih gelap dari biasanya. Belakangan ini, rasanya hujan turun hampir setiap hari dari sore menjelang malam. Jean menengadah keatas, memastikan apakah sore ini akan turun hujan seperti biasanya atau tidak.
“Milo,” panggil Jean dari jok belakang, “sekarang kayanya bakal hujan deh.”
“Hah?” Milo yang tengah fokus mengendarai motor di depan itu tak mendengar jelas ucapan gadisnya, “Apa Jean? Gak kedengeran.”
Sebenarnya ini yang Jean tidak sukai kalau ngobrol diatas motor, kadang, ucapan kita atau partner kita tidak terdengar dengan jelas. Apalagi di tambah suara bising dari kendaraan lain di sekitar mereka.
“KAYANYA SEKARANG BAKAL HUJAN DEH, UDAH MULAI GERIMIS!” Jean meninggikan volume suaranya, “RUMAH GUE MASIH JAUH, MAU MAMPIR KE PLAYGROUND KOMPLEK ITU GAK? KITA NEDUH DISANA.” lanjut gadis itu sambil menunjuk gapura komplek yang tak jauh di depannya.
Milo mengikuti arah tunjuk Jean, “Emang disana ada playground?” tanyanya.
“ADA, gue pernah nyasar sama Java kesana.” balas Jean, “Gede kok playground-nya, ada saung juga. Saungnya luas mirip saung yang ada di upin ipin, lo tau ‘kan? Kita neduh disana.”
Milo menurut, ia langsung mengarahkan motornya memasuki komplek yang ditunjuk Jean, “Lo bilang, lo pernah nyasar ke komplek itu sama Java? Emang mau kemana?”
Jean memajukan kepalanya hampir mendekati telinga Milo agar partnernya itu bisa mendengar jelas ucapannya, “Waktu itu gue sama Java mau pergi ke rumah Karen pake taksi online, tapi Java malah naro alamat yang salah jadi kita diturunin di komplek ini. Terus kita liat ada playground disana, jadi kita nunggu taksi online berikutnya di playground.” jelas Jean panjang lebar.
“Oh hahaha,” Milo mengangguk, “ada-ada aja. Kayanya seru kalo gue kenal lo lebih awal.”
Jean tersenyum mendengar kalimat terakhir Milo, “Gak perlu kenal gue lebih awal, kita bisa bikin hal-hal seru bareng Java. Biasanya kan duo, sekarang trio ditambah lo. Mau? Nanti kita main bertiga kapan-kapan okay?”
“Okay, komandan.” balas Milo sambil menaruh tangan kanannya dipinggir dahi seperti sedang hormat.
“Milo! Tangannya jangan macem-macem. Bahaya! Simpen lagi di stir.” ucap Jean yang langsung dituruti oleh Milo.
“Iya, sayang.”
Jean bisa merasakan tetesan air hujan mulai mengenai tangannya, perhatiannya langsung ia pusatkan pada Milo yang masih terlihat fokus mengendarai motornya, “Milo, gerimis. Mau tukeran gak yang ngendarainnya? Biar gue aja.”
Milo segera menggeleng, “Nggak, gak usah. Playground-nya masih jauh gak?” tanya lelaki itu.
“Sekitar 500 sampe 700an meter lagi.”
Milo mulai menancap gas, “Jean peluk gue yang erat, gua mau ngebut.” titah lelaki berahang tegas itu, “Tapi jangan kekencengan, nanti gue gak bisa nafas.” lanjut Milo sebelum akhirnya melajukan motornya beberapa kali lipat lebih cepat.
Jean sama sekali tak keberatan, gadis itu langsung mengeratkan pelukannya pada pinggang Milo, kepalanya ia majukan lebih ke depan untuk mencium parfum lelaki itu.
Gila!
Cara berkendara Milo saat ngebut lebih parah dari Dylan. Jean kira Dylan yang terparah, namun ternyata Milo lebih diatas Dylan.
Jean makin mengeratkan pelukannya, ia tidak mau kenapa-napa untuk sekarang. Masih banyak wish dan goals yang ingin ia wujudkan. Dan ia juga tidak ingin meninggalkan Java sendiri.
“Udah sampe, ini kan playground nya?” Milo memarkirkan motornya di sekitar playground, kaca spionnya ia arahkan pada Jean yang terlihat sedang memejamkan mata sambil merapalkan beberapa doa yang tidak bisa Milo dengar. Tangan gadis itu juga masih melingkar di pinggang lelaki itu dengan sangat erat.
Milo menyunggingkan senyum, salah satu tangannya mengelus tangan Jean yang melingkar di sekitar pinggangnya, “Jean, udah sampe. Katanya mau gue ajak selap-selip, tapi dibawa ngebut sebentar aja udah jampi-jampi.”
Jean membuka matanya perlahan lalu melepaskan tangannya dari Milo, “Jampi-jampi apaan ya, gue lagi berdoa tau! Jampi-jampi tuh identik sama yang mistis mistis, ilmu sihir, santet, dan lain-lain.” Jean turun dari motor Milo, “Lagian lo ngendarainnya gila banget, mau jadi pembalap? A Dylan yang suka kebut-kebutan aja kayanya kalah sama lo.”
Milo tertawa kecil, “Sini, helm-nya gue bukain.”
Jean tidak banyak bicara dan menghadap kearah Milo yang langsung membukakan helm-nya, “Makasih.”
Sekarang, mereka sudah duduk di saung sambil menatap tetesan air hujan yang mulai membesar. Jean melihat kearah Milo yang berada di sebelah kanannya, “Milo,” panggil Jean.
“lo gapapa?” Jean bisa melihat wajah Milo mulai memucat.
Milo tersenyum lalu mengangguk kecil, “Gue gapapa, asal gak ada petir kayanya aman.”
Jean mengambil tangan Milo lalu menangkupnya dengan kedua tangannya, “Apa hal terbodoh yang pernah lo lakuin?” Jean berusaha mengalihkan perhatian lelaki itu pada hujan.
Bukannya menjawab, Milo justru memperbaiki tangan mereka menjadi genggaman, menaruh jari-jari tangan Jean di sela-sela jarinya lalu menutupnya, “Gue lebih nyaman gini.”
Jean tidak keberatan mau bagaimana, asal bersama Milo, apapun terasa nyaman.
“Cepet jawab pertanyaan gue, apa hal terbodoh yang pernah lo lakuin?” Jean mengulangi pertanyaannya.
Milo berpikir sejenak.
Benar saja, pertanyaan spontan Jean mampu mengalihkan fokus lelaki itu pada hujan. Di tambah atensi Jean yang belakangan ini selalu merebut fokusnya pada hal di sekitarnya.
“Lo dulu apa?”
Jean mengernyit, “Kan gue nanya sama lo, kenapa malah nanya balik?”
“Soalnya hal terbodoh yang pernah gue lakuin bener bener bodoh. Gue jadi pengen tau seberapa bodoh hal yang pernah lo lakuin.” balas Milo, matanya tak lepas menatap iris mata Jean.
“Emmm…” kini giliran Jean yang berpikir, rasanya banyak sekali hal bodoh yang ia lakukan bersama Java dulu.
“Lo dulu deh,” Jean tidak tau mau menceritakan apa pada Milo, “banyak banget hal bodoh yang gue lakuin. Kayanya kalo gue cerita sama lo disini, gak akan selesai sampe besok subuh karena emang sebanyak itu.”
Milo tak terkejut, melihat sosok Jean sekarang memang apa yang dikatakan gadis itu sepertinya benar.
“Oke, tapi lo jangan ketawa ya.” peringat Milo.
Jean mengangguk bersemangat, ia mengubah posisi duduknya jadi menghadap Milo dan siap memerhatikan setiap kata yang lelaki itu lontarkan, “Kalo gak lucu, gak akan ketawa. Tapi kalo lucu, sorry nih pasti ketawa lah.”
“Gue pernah minum obat serangga.”
“Hah? Lo serius?!” bukannya tertawa, Jean justru terkejut tak percaya.
Tak ada raut kebohongan dari wajah Milo. Lelaki itu mengangguk, “Gue gak akan bilang merek nya apa, tapi yang pasti itu hal terbodoh yang paling bodoh yang pernah gue lakuin.” Milo menghentikan kalimatnya sekejap, memerhatikan wajah Jean yang tengah fokus menatapnya dengan tatapan terkejut sekaligus khawatir, “Gue juga masih nyesel kenapa dulu bisa ngelakuin hal bodoh itu.” lanjutnya.
“Terus gimana?” tak bisa dipungkiri, Jean sangat khawatir dengan keadaan Milo saat itu walaupun ia tau lelaki berahang tegas itu tidak akan kenapa-napa. Ditambah lagi meminum obat serangga itu identik dengan orang yang akan melakukan perencanaan bunuh diri.
“Langsung dibawa ke rumah sakit.”
“Kok bisa?” nadanya terdengar khawatir.
Milo tak langsung menjawab, ia mengedarkan pandangannya ke sekitar untuk melihat hujan yang kian membesar. Jujur, sedari tadi dadanya sesak, namun tidak ada suara mengganggu atau kilasan memori tentang malam itu.
Apa karena sedari tadi pikirannya tak kosong? Apa karena ada Jean disampingnya? Entahlah.
“Milo,” panggil Jean, “Kok bisa lo minum obat serangga? Lo lagi gak coba bunuh diri ‘kan?”
Mata Milo bertemu dengan milik Jean, lelaki itu menggeleng, “Gue gak pernah kepikiran buat bunuh diri mau sesulit apa hidup gue, Jean.”
“Terus?” Jean tidak hanya penasaran, tapi juga peduli pada Milo.
“Jadi, waktu itu tuh sekitar 1 tahun lalu. Ibu sama mba Kyra mau belanja bulanan ke supermarket tapi gue gak ikut karena emang lagi masa masa ujian. Terus, tiba-tiba hujan dan lo tau sendiri ‘kan kalo gue ada masalah sama hujan.” Milo menghentikan kalimatnya, tangannya makin erat menggenggam tangan Jean.
“Waktu itu kayak biasa ada suara-suara yang nyuruh gue buat akhirin hidup gue, mungkin karena waktu itu lagi pusing sama ujian, gak tau kenapa tiba-tiba gue nurut aja disuruh ini itu. Gue langsung ngambil obat serangga yang cair terus masukin ke dalem gelas — ”
“Terus lo minum?” potong Jean yang hanya dijawab anggukan oleh Milo.
“Setelah minum gimana rasanya?”
“Emm…” Milo berpikir sejenak, mengingat-ngingat kejadian bodoh yang pernah ia lakukan, “Gue gak inget apa-apa sih setelah itu, langsung gelap semuanya.”
Jean tidak tau harus berkata apa, pikirannya terus membayangkan hal buruk pada Milo saat itu. Bagaimana kalau satu tahun kebelakang Milo tidak bisa di selamatkan? Sepertinya hidupnya tidak akan semenyenangkan sekarang.
“Jean?” Milo mencoba membuyarkan lamunan Jean, “Lo lagi mikirin apa sih? Gue gak kenapa-napa kok, buktinya gue masih ada sekarang. Bisa duduk di sebelah lo, gue beneran manusia kok bukan hantu.” lanjut lelaki itu.
Hujan yang menemani mereka terus menetes deras, namun untungnya tidak ada petir yang bergema. Jadi Milo bisa lebih tenang.
“Milo!” Jean bangkit dari duduknya, menarik tangan Milo yang menggenggam tangannya, “Mau main sama gue?”
Kening lelaki itu mengernyit, namun tubuhnya mengikuti kemana gadis itu membawanya, “Main apa?”
Kedua tangan gadis itu kini menggenggan kedua tangan Milo dengan sangat erat, “Lo masih inget ‘kan sama apa yang tadi dokter Eva bilang? Kalo lo punya trauma, jangan dihindari, tapi dihadapi.”
Jean mengambil langkah mundur, kaki kanannya sudah mulai keluar dari kawasan saung, “Gue pengen main hujan-hujanan sama lo.” ucap Jean yang hanya dihadiahi tatapan kosong oleh Milo.
“Gue tau, mungkin gue kesannya gegabah atau gak ngehargain phobia lo, tapi ‘kan lo pernah bilang kalo setiap hujan lo selalu inget kejadian di malam ayah lo meninggal. Gue pengen hari ini kita bikin memori sama hujan biar nanti pas hujan, lo cuma bisa inget saat ini. Katanya, yang bisa ngelawan memori yang paling menyedihkan itu adalah memori yang paling menyenangkan.”
Seluruh tubuh Jean sudah terkena air hujan, kedua tangannya masih menggenggam tangan Milo yang terasa sangat dingin di genggamannya, “Milo,” Jean menjeda kalimatnya, “ayo kita bikin moment paling menyenangkan sama hujan!”
“Kata orang, pikiran itu mempengaruhi hidup kita. Jadi, kalo kita pengen hidup lebih tenang kita harus pikirin hal-hal baik. Yu bikin moment baik yang bisa kita pikirin!”
Jantung Milo berpacu beberapa kali lebih cepat, dadanya makin sesak, dan benar saja, saat pikirannya kosong, semua memori di malam ayahnya meninggal kembali mencuat. Suara-suara yang tadi terdengar sunyi pun tiba-tiba ramai oleh salahan dan suruhan yang lelaki itu sangat benci.
Lelaki itu mengangguk, walaupun sedikit ragu, tapi semoga saja keputusannya tidak salah.
Jean tersenyum senang lalu menarik tangan Milo perlahan, menuntun lelaki itu untuk tidak takut menghadapi hujan.
Saat tubuh keduanya sudah basah terkena air hujan, Jean menarik Milo untuk belari, mengelilingi playground yang lumayan luas sambil sesekali mengajak lelaki itu bermain dengan beberapa fasilitas yang tersedia.
Milo tak keberatan, cepat atau lambat lelaki itu memang harus berani menghadapi hujan. Dan mungkin inilah saatnya, saat bersama Jean.
“Udah lama gue gak main hujan. Makasih ya udah wujudin keinginan gue. Selain hujan-hujanan kayak biasa, gue juga pengen ngelakuin banyak hal sama pasangan masa depan gue sambil ditemenin hujan.” ucap Jean bersemangat.
“Lakuin apapun yang pengen lo lakuin sambil ditemenin hujan sama gue, Jean. Gue pasangan masa depan lo ‘kan? Gue pengen jadi pasangan masa depan lo.” tawar Milo sambil berusaha mengatur nafasnya dan memberanikan diri ditetesi puluhan hingga ratusan air hujan.
Okay, everything’s gonna be okay If I’m with you, Jeva Anna.